Sinema dan Poiesis Solidaritas Resiliensi
Sinema
dan festival film adalah bentuk-bentuk ruang yang memungkinkan
penderitaan-penderitaan individual menemukan gemanya sebagai sebuah gejala yang
mengglobal. Mereka menjadi bagian dari peta besar yang berisi sebuah lanskap gejolak
antarbangsa yang terus mengalami perubahan. Dalam ruang menonton, mereka menemukan
saudara senasib-sepenanggungannya dan membentuk sebuah solidaritas yang lahir
dari rasa mengalami bersama. Demikianlah poiesis solidaritas sinematik lahir
dari pengalaman menonton.
Poiesis berakar dari Bahasa Yunani poiein (ποιεῖν) yang berarti tindakan mencipta yang membuka tabir kebenaran, dan poiesis
(ποίησις) yang berarti proses pembuatan atau penciptaan.[1]
Pada diskursus sains, lingustik maupun kreatif, poiesis merujuk pada
sebuah penciptaan yang melibatkan transisi dan transformasi dari ketiadaan
menuju ada. Dalam film, poiesis kadang terjadi saat objek sehari-hari menjadi
punya pemaknaan baru karena ada penyisipan makna yang dilakukan secara bertahap
dan berulang terus-menerus. Bayangkanlah sebuah puisi yang memiliki rima dan
irama tertentu untuk membentuk sebuah pemaknaan baru atas kata atau sebuah
bahasa. Repetisi rima dan irama tertentu itulah yang melahirkan kualitas
estetis baik secara bunyi, rasa, bahasa maupun pemaknaan.
Poiesis
dalam film Niguruma no Uta (Kidung Penarik Gerobak) karya Satsuo
Yamamoto (1959) menghadirkan sebentuk pemaknaan baru tentang penderitaan dan resiliensi.
Tandasan gerobak yang ditarik protagonis film bernama Seki yang menempuh
jalanan Jepang mencerminkan tak hanya perjalanan hidup seorang perempuan
penarik gerobak dari keluarga petani, melainkan juga merefleksikan kronik
perjalanan Jepang menuju modernisasi. Dunia Seki bergerak bersama gerobaknya
melintasi perubahan terjal Jepang di era keruntuhan ekonomi pasca sejumlah perang,
bayang-bayang bom Hiroshima, racun radiasi, transisi pasca era feudal, hingga
dorongan industrialisasi dan modernisasi tak terelakkan yang segera
menggantikan sang gerobak dengan mesin mobil dan kereta uap. Alih-alih
meletakkan zaman-zaman yang berbahaya ke dalam narasi film, Yamamoto
membiarkannya mengintai sebagai tekanan yang sublim namun konstan terus
dihadapi Seki dan masyarakat Jepang. Perjuangan dihadirkan dalam bentuk
realitas sinematik sehari-hari masyarakat petani dengan bahaya sistemik sebagai
bayang-bayang di luar bingkai. Kenyataan sehari-hari dalam film diisi oleh dunia
domestik kerja-kerja perawatan perempuan sembari tetap terus menarik gerobak
yang berusaha mengejar cepatnya perubahan akibat modernisasi.
Perjuangan
dan penderitaan Seki tidak dihadirkan semata sebagai spektakel namun merupakan
sebuah penyingkapan terhadap kegigihan kelas petani perempuan dalam
memperjuangkan hidup dan martabatnya. Kamera Yamamoto tak berpaling dari kerja
berulang memasak, mengurus ladang, membesarkan anak, mengurus mertua yang
menindas dan suami yang zalim, serta menarik gerobak untuk mengangkut barang
melintasi jarak yang jauh. Dengun tekun, kameranya terus merekam rangkaian
adegan domestik sebagai sebuah kerja tanpa henti dalam memperjuangkan martabat
hidup sekaligus secara tak langsung menjadi topangan Jepang menuju era modern-nya.
Saat gerobak resmi digantikan mobil dan kereta uap serta kerja menanam
digantikan oleh kerja mengawasi produksi mesin-mesin pabrik, poiesis perjalanan
Seki dan gerobaknya berakhir dalam perayaan atas kekuatan dan keteguhan
melewati zaman yang terus bergerak berubah.
Sebagai
sebuah karya sinema yang memotret realitas minor, kekuatan Niguruma no Uta pun
terletak pada proses kolektif di baliknya yang didanai oleh sekitar 3,2 juta
petani perempuan yang tergabung dalam Asosiasi Nasional Petani Perempuan Jepang
dan diproduksi oleh asosiasi Film Pedesaan Nasional. Kisah pada film ini pun
berakar dari novel karya aktivis perempuan Tomoe Yamashiro yang kemudian
digubah menjadi skenario oleh Yoda Yoshitaka—penulis naskah kawakan yang juga
kerap bekerja dengan Kenji Mizoguchi dalam menuliskan kisah-kisah perempuan
Jepang di era feudal dan pasca feudal.
Apa
yang disorot kamera Yamamoto dan dituturkan filmnya adalah bentuk jejak
keterlibatannya dalam Prokino (Liga Film Proletar Jepang) yang eksis pada kurun
waktu 1929-1934. Meski dibubarkan paksa dan anggotanya ditangkapi, Prokino
meninggalkan tradisi merekam demonstrasi dan kehidupan kelas pekerja, lalu
menayangkannya secara kolektif di pabrik dan tambang menggunakan proyeksi mobile.[2]
Niguruma no Uta adalah salah satu warisan semangat itu, yang sempat hadir
di Jakarta melalui Festival Film Asia Afrika 1964 dan meraih Piala Bandung
bersama Hóngsè Niángzi Jūn (Perempuan Tentara Merah) karya Xie Jin
(1961).[3]
Sinema
di titik ini pun mengalami poiesis. Ia mengungkap kebenaran bukan dengan
mengekstraksi penderitaan kehidupan menjadi spektakel, namun dengan mengarahkan
lensanya untuk menerangi martabat sebuah perjuangan yang gigih dari perempuan
petani. Penderitaan ditransformasikan menjadi benih yang membangun
keterhubungan dan solidaritas antarbangsa lewat kerja-kerja pembuatan film dan
menonton.
Menayangkan kembali Niguruma no Uta adalah upaya menghidupkan kembali memori tentang bagaimana resiliensi dalam kerja kebudayaan dan sinema menjalar, membentuk solidaritas, dan meneguhkan imajinasi kolektif di ruang-ruang penayangan film. Menggubah keterisolasian penderitaan individual dan mengembalikannya sebagai bagian dari gejala sosial-ekonomi-politik global yang lebih besar, yang selalu terjejaring dan terus bergerak.
Catatan:
Tulisan ini merupakan pengantar program kuratorial film Niguruma no Uta (Ballads of the Cart) karya Satsuo Yamamoto yang dipresentasikan pada festival film dokumenter & eksperimental ARKIPEL 2025—Years of Living Dangeroulsy tanggal 10 September 2025. Tilik laman berikut untuk program kuratorial film ini di ARKIPEL selengkapnya: https://arkipel.org/cp-2025-niguruma-no-uta/ .
Referensi
[1] Istilah ini diangkat
dan dielaborasikan oleh Martin Heidegger dalam esai The Question Concerning
Technology (1954) dengan merujuk pada salah satu kalimat Plato di Symposium
bagian 250b: "Every occasion for whatever passes over and goes forward
into presencing from that which is not presencing is poiesis, is bringing-forth
[Her-vor-bringen]." Heidegger mengelaborasikan poiesis sebagai
penciptaan sesuatu menjadi ada atau penyingkapan atas kebenaran.
[2] “Kino-Pravda: A Tribute to Prokino” IM Heung-soon, Eiji Oguma,
James T. Hong & Yin-Ju Chen, Mitsuo Sato & Kyoichi Yamaoka, Prokino
(The Proletarian Film League of Japan). 13 May – 28 May, 2017. Curated by
Asakusa with support by Sanya Production and Screening Committee, Rokka
Shuppan. Diakses dari https://www.asakusa-o.com/wp/wp-content/uploads/2017/09/Pressrelease_KinoPravda_EN.pdf
pada 17 Agustus 2025.
[3] Bunga P. Siagian dan Lilawati Kurnia, “Festival Film Asia Afrika III: Pengetahuan Perempuan dan Imajinasi atas Kedaulatan Sinema”, dalam Capture: Jurnal Seni Media Rekam, Vol. 14, No. 3 (Desember 2023), hlm. 296.