Distopia Rantau dan Hasrat Penaklukan: Catatan tentang film Bulan Di Atas Kuburan (1973)

Adegan Sabar menyewa iring-iringan saat pulang ke kampung di kawasan Toba.

I

Di era 1970-an, terdapat cukup banyak film Indonesia yang sering membicarakan fenomena 'rantau' ke Jakarta. Beberapa yang bisa saya sebutkan di antaranya adalah Bulan Di Atas Kuburan (1973) karya Asrul Sani, Jakarta Jakarta (1978) karya Ami Prijono, dan Pengemis dan Tukang Becak (1978) karya Wim Umboh. Namun, alih-alih digambarkan sebagai sebuah utopia, Jakarta dalam ketiga film ini malah muncul sebagai sebuah distopia terutama berkaitan dengan gambaran kerasnya kehidupan di kota. Pada tulisan ini, saya ingin mencoba mengulas perihal tersebut dalam film Bulan Di Atas Kuburan.

Bulan Di Atas Kuburan merupakan karya sinema yang merupakan adaptasi dari sebuah puisi berjudul Malam Lebaran karya Sitor Situmorang. Film ini dibintangi oleh Muni Cader, Rachmat Hidayat, Kusno Sudjarwadi serta Mutiara Sani. Pada masa rilis dan penayangannya, film ini cukup sukses dan ia meraih penghargaan Festival Film Indonesia 1975 untuk pemeran pendukung pria terbaik (Aedy Moward).[1] Pada tahun 2015, film ini diproduksi kembali dengan tema dan judul yang sama. Namun skenario film mengalami adaptasi dan terdapat sejumlah penambahan karakter. Di tulisan ini, saya akan berfokus pada Bulan Di Atas Kuburan rilisan 1973 versi Asrul Sani. Film ini direstorasi oleh PT Tiga Belas Entertainment dan ditayangkan untuk memperingati Hari Film Nasional 2017. Namun waktu tayang menjadi 87 menit dari durasi asli 99 menit karena ada beberapa bagian yang rusak dan tak bisa diperbaiki.

Film Bulan Di Atas Kuburan dibuka dengan pemandangan Danau Toba yang indah dan seorang lelaki bernama Tigor yang bekerja sebagai pemecah batu. Kemudian, film menampilkan arak-arakan sewaan Sabar, seseorang asal Toba yang dikenal sukses merantau dan kini akan kembali ke tanah rantau Jakarta. Kehadiran Sabar dan arak-arakan sewaan ini seolah-olah membuka perbincangan tentang kemasyhuran dari fenomena rantau ke Jakarta sejak awal film. Fenomena inilah yang kemudian dalam film akan diikuti oleh karakter-karakter lain dalam Bulan Di Atas Kuburan.

Lakon utama film yang bernama Sahat diperkenalkan melalui adegan permainan catur dan perbincangan tentang sastra. Adegan ini kemudian memberikan gambaran tentang jenis pekerjaan yang Sahat lakukan yakni penulis. Pada perbincangan tentang Jakarta, film ini sempat mengetengahkan dilema urbanisasi melalui kalimat seorang guru, "Kalau semuanya mau ke Jakarta, siapa lagi yang tinggal?". Dilema ini kemudian dijawab dengan Sahat dan sahabatnya yang bernama Tigor dengan akhirnya mengikuti Sabar merantau ke Jakarta.

II.

Dalam film ini, jika lanskap desa selalu digambarkan dengan dominasi keindahan alam, maka lanskap Jakarta diperkenalkan lewat gambaran kehiruk-pikukan. Gambaran keramaian Jakarta dihadirkan melalui visual barisan kapal dan transportasi yang sibuk di jalanan. Gedung tinggi, jalanan ramai, dan konstruksi buatan manusia digambarkan sebagai aspek-aspek yang mengisi kepadatan dan keramaian kota Jakarta.

Dalam hal penuturan cerita, Jakarta kemudian diperkenalkan sebagai sebuah pengalaman yang distopis. Alih-alih menemukan sebuah utopia kesuksesan, Sahat dan Tigor justru menemukan kehidupan Jakarta yang keras dan individualis yang memaksa manusia-manusianya untuk berubah mengikuti sebuah aturan main tertentu demi bertahan hidup. Menariknya, imajinasi Tigor dan Sahat saat hendak berangkat merantau ke Jakarta adalah sebuah bayangan tentang penaklukan. Hal ini diejawantahkan saat keduanya berdiri di tepian Danau Toba sebelum ke Jakarta dan berteriak dengan lantang bahwa mereka akan menaklukkan Jakarta.

Adegan saat Sahat dan Tigor berteriak hendak menaklukan Jakarta.

Pada periode 1970-an, film-film Indonesia konon memang menunjukkan kecenderungan yang signifikan dalam membahas dikotomi antara desa dan kota. Dikotomi ini hadir di tengah produksi film Indonesia yang saat itu banyak mengangkat tema kekerasan dan seks. DA Peransi, dalam tulisannya yang berjudul “Film Indonesia Dibanjiri Tema Mistik dan Kekerasan”, mencatat bahwa film-film Indonesia pada periode 1971 hingga 1989 cenderung mengangkat tema konflik antara individu dengan lingkungannya dengan latar cerita hampir selalu berkisar pada perbedaan antara desa dan kota.[2]

Dalam film-film tersebut, terdapat ketegangan antara norma-norma desa versus kota. Jakarta, sebagai contoh, digambarkan sebagai kota yang keras, penuh cobaan, tidak manusiawi, dan sarat dengan hedonisme. Menurut Peransi, tanpa disadari, pembuat film masih memilih moral dan norma "pedesaan" sebagai jalan keluar dari konflik tersebut.[3] Selain itu, kehidupan modern dalam film-film tersebut seringkali diperlihatkan sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima begitu saja karena adanya benturan dengan nilai-nilai yang lebih tradisional. Modernitas diperlihatkan sebagai sesuatu yang masuk ke desa dengan menawarkan kemungkinan-kemungkinan kebebasan, kesuksesan, dan kemasyhuran yang menawan namun dengan harga norma-norma tertentu yang harus berubah. Dalam hal ini, sinema bekerja sebagai sebuah kanal pedagogis antara pengkarya dan penontonnya.

Beberapa tema yang muncul dalam Bulan Di Atas Kuburan misalnya adalah tentang kritik terhadap bagaimana di Jakarta terdapat kecenderungan untuk membicarakan segala hal dalam bentuk kuantifikasi ekonomi. Misalnya, dalam dialog, "Kalau Nelly (adik Mona) yang jatuh, berapa harganya, Pa?" yang dijawab dengan, "Harga dirimu lebih dari itu." Contoh abstraksi lainnya muncul dalam narasi cerita tentang perubahan karakter Sahat menjadi sosok ambisius, oportunis, dan melupakan kebaikan kawan-kawannya yang menunjukkan ketiadaan integritas individu.

Selain itu, anak-anak perempuan digambarkan dan dianggap tidak bisa diatur, gila, serta dijuluki perawan tua untuk menunjukkan kehilangan nilai luhur yang krusial dalam masyarakat. Kehilangan nilai-nilai luhur ini dimanifestasikan pada sosok perempuan cukup sering. Hal ini salah satunya diperlihatkan dalam adegan saat Nelly membanting pot bunga dan gitar dari lantai atas sebagai bentuk kefrustasian terhadap kondisi keluarganya. Juga dalam tindakan berlandaskan keuntungan finansial yang dilakukan oleh pacar Tigor. Tema kekerasan dan perebutan kuasa juga muncul, seperti terlihat dalam perjalanan Tigor yang ingin menjadi kaya lewat penguasaan lahan parkir namun berakhir tragis.

Adegan saat Nelly (adik Mona) histeris dan membanting gitar di hadapan ayahnya.

Dalam film ini, Sahat dan Tigor menemui sekurangnya tiga orang perempuan yang berperan cukup penting perihal mengupayakan “kesuksesan” keduanya. Perempuan pertama adalah saudara Sahat di Jakarta (diperankan oleh Sofia WD). Perempuan ini dengan tegas menolak membantu dengan lantaran keterbatasan finansial di keluarga meski film memperlihatkan ia hidup di rumah yang cukup mapan. Perempuan kedua ialah istri Sabar (diperankan oleh Chitra Dewi) yang secara harfiah betul-betul sabar menampung Tigor dan Sahat walau ia dan Sabar pun hidup sangat terbatas. Perempuan ketiga ialah Mona (diperankan oleh Mutiara Sani), seorang perempuan mapan yang merupakan anak seorang penerbit. Ia terpikat pada Sahat. Demi ambisinya menjadi penulis besar, Sahat diceritakan menikahi Mona. Pilihan menikahi Mona tersebut digambarkan menjadi awal mula Sahat si anak desa yang mulanya digambarkan berbudi baik dan berideologi, kini berubah menjadi manusia serakah yang tak punya prinsip. Rantau diperlihatkan sebagai sebuah bentuk manifestasi hasrat maskulin perihal mencapai kesuksesan. Sedangkan femininitas dan perempuan digambarkan sebagai dua kontras utama: perempuan baik akan menjadi tangga pendukung pencapaian maskulin dan perempuan tak baik adalah hasil deviasi norma modern kota.

Sosok Mona yang diperankan oleh Mutiara Sani.

Intan Paramaditha pernah menuliskan bahwa sinema Indonesia pada masa Orde Baru didominasi oleh laki-laki dan gambaran kota sering kali dibuat berdasarkan gender, diwujudkan dalam sosok perempuan yang dominan dan longgar secara seksual, agar sesuai dengan imajinasi pembuat film laki-laki tentang realitas nasional yang suram.[4] Pada sejumlah film di era ini yang menyorot Jakarta sebagai latarnya, sosok perempuan seringkali digambarkan dengan karakter yang mengindikasikan deviasi moral. Pada film Bulan Di Atas Kuburan, gambaran ini dapat kita lihat pada karakter kekasih Tigor yang berselingkuh demi mendapat lelaki yang punya kuasa, Nelly yang histerikal dan bandel, dan barangkali Mona yang lebih proaktif mengejar Sahat (dan perilaku itu cenderung secara stereotipik tak umum dilakukan perempuan pada latar desa di era tersebut). Dikotomi-dikotomi tersebut memang relatif naif namun itulah yang secara gamblang hadir di film ini baik secara dialog, rancangan karakter tokoh, maupun narasi cerita.

Kritik keras terhadap keterasingan dan landasan kapitalistik kota pun dimanifestasikan dalam logika sinematik yang menarasikan tentang hasrat penaklukan maskulin baik terhadap kota maupun terhadap perempuan-perempuan di kota. Pada Bulan Di Atas Kuburan, penaklukan yang diupayakan Sabar, Sahat dan Tigor hanya dimungkinkan dengan bantuan istri Sabar dan Mona. Seksualitas, afeksi, dan lembaga pernikahan digambarkan sebagai jalan bagi maskulinitas untuk bisa menanjaki tangga-tangga pencapaian material sebab basis reproduktif domestik “telah teramankan”. Baik Sabar maupun Sahat mengamankan basis domestiknya melalui pernikahan dengan perempuan yang digambarkan rela menopang pasangan dan tabah. Namun, saat keyakinan feminin Mona mulai tak memihak Sahat, upaya Sahat menaklukan Jakarta pun gagal.

Kegagalan Sahat itu pun menjadi mula bagi penutup film Bulan Di Atas Kuburan yang menggambarkan bahwa pada akhirnya bulan yang dicari dan hendak ditaklukan Sahat dan Tigor di Jakarta tak bisa mereka temukan. Sebagaimana dalam puisi Sitor yang berjudul Malam Lebaran yang berisi hanya satu baris kalimat: bulan di atas kuburan. Dan kita semua tahu, tidak ada bulan di malam lebaran.

 



Terima kasih kepada Dini Adanurani & Valencia Winata sebagai para pembaca pertama yang sudah memberi masukan.



[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Bulan_di_Atas_Kuburan_(film_1973) diakses pada 27 Januari 2024, pukul 15.30 WIB.

[2] DA Peransi. Film Indonesia 1989 Dibanjiri Tema Mistik Dan Kekerasan. Suara Pembaharuan. Selasa, 7 November 1989. Diketik ulang dan diterbitkan di https://jurnalfootage.net/v4/film-indonesia-1989-dibanjiri-tema-mistik-dan-kekerasan/ diakses pada 27 Januari 2024 pukul 16:00 WIB.

[3] Ibid.

[4] Intan Paramaditha (2011): City and Desire in Indonesian Cinema, Inter-Asia Cultural Studies, 12:4, 500-512.