Memori adalah Gambar di Dalam Pikiran
Sinema dan sejarah adalah dua hal yang sulit dielakkan satu sama lain. Sejak kehadirannya, kamera telah memungkinkan peristiwa-peristiwa terabadikan hingga dapat dilihat kembali di masa depan. Sejarah dapat dikenali pada medium-medium yang berusaha merepresentasikannya. Sedangkan di sisi lain, filem merupakan medium representasi sejarah sekaligus sejarah itu sendiri; ia adalah peristiwa sekaligus aksi. Dalam hal ini, penelusuran terhadap sebuah karya sinema monumental, seperti filem Pengkhianatan Gerakan 30 September, yang menuturkan peristiwa sejarah pun adalah penelusuran terhadap kesejarahan sinema itu sendiri; bagaimana gambar bergerak dari satu medium ke medium lainnya hingga menjadi sebuah realitas di luar filem itu sendiri.
Merekam dengan Menonton
Awalnya, sebagai bagian dari generasi yang tidak mengalami
peristiwa sejarah yang diceritakan dalam filem Pengkhianatan Gerakan 30
September dan tidak pula hidup dalam masa-masa dimana menonton filem
tersebut adalah suatu kewajiban, saya pikir filem ini tidak akan memicu memori
yang familiar pada saya. Namun saya keliru. Kenyataan bahwa filem Pengkhianatan
Gerakan 30 September pernah diputar setiap tahun di televisi dan
merupakan produksi resmi negara membuat aspek-aspek tertentu yang hadir dalam
narasi filem telah disepakati menjadi normalitas. Sehingga jika pun bukan
bentuk spesifik dalam filem yang masih familiar bagi generasi baru ini, maka
setidaknya bentuk standar perilaku tertentu dalam masyarakatlah yang dapat
dikenali. Sebab dalam jangka waktu yang panjang, melalui proses pendidikan pada
berbagai pranata sosial – keluarga salah satunya – aspek-aspek tersebut terus
direproduksi dan menjadi pengetahuan umum yang terkodekan di dalam tubuh.
Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September |
Filem karya Arifin C. Noer ini berkisah tentang peristiwa
yang terjadi pada 30 September 1965 di mana ketujuh jenderal yang dituduh
hendak melakukan kudeta pada presiden kala itu – Soekarno – mengalami
penculikan dan pembunuhan. Penceritaan itu dibagi dalam dua babak. Babak
pertama terdiri dari latar belakang peristiwa dan terjadinya peristiwa itu
sendiri. Disusul dengan babak kedua yang diberi judul “Penumpasan”. Filem yang
bergenre doku-drama ini meramu arsip koran, foto dan rekaman dengan
gambar-gambar yang dibuat dari penerjemahan sutradara atas catatan-catatan dari
negara. Ia, dengan metode fiksinya, meletakkan sejarah sebagai sebuah peristiwa
kilas balik ingatan orang-orang yang kemudian disaksikan kembali oleh penonton
yang menyaksikan terjadinya kilas balik tersebut.
Dalam sebuah adegan di mana salah seorang saksi peristiwa 30 September berusaha mencari lokasi penculikan dan pembunuhan, kamera menyajikan gambar-gambar kilas balik beserta bunyian yang kembali menayangkan adegan peristiwa ketika pembunuhan terjadi. Realita si saksi kembali lagi ketika kamera memperlihatkan pohon, tanah dan lokasi pembunuhan di masa kini (dalam filem). Sekuens gambar dan bunyian tersebut kemudian seolah menghasilkan sekat tipis pada ruang-ruang abstrak yang muncul selagi filem diputar dan ditonton: ruang memori si saksi, ruang hari ini dalam filem di mana si saksi sedang mengingat, ruang di antara penonton dan filem, serta ruang memori di kepala penonton.
Gambaran skema tentang ruang-ruang abstrak memorial yang muncul selagi filem diputar dan ditonton. |
Lewat mata kamera filem, mata penonton turut melihat sebuah peristiwa meski tubuhnya tak pernah hadir pada lokasi dan waktu ketika peristiwa tersebut terjadi. Lewat peristiwa itu pulalah penonton merekam peristiwa yang tak pernah ia alami. Secara biografis, sebuah kosa kata dari filem tersebut telah menjadi bagian dari memori penonton. Kosa kata tersebut dapat menjadi salah satu pilihan kata yang kelak digunakan untuk mengartikulasikan atau menerjemahkan pengalaman, baik yang secara langsung terkait dengan pengalaman dalam filem tersebut atau pun sama sekali berbeda. Tentunya, peristiwa mengingat ini di satu sisi adalah hal yang sangat personal. Masing-masing dengan rekaman-rekaman lainnya yang sudah ia miliki, baik yang direkam dengan mata mekanis kamera maupun mata biologis tubuh, akan memutasikan ingatan tersebut menjadi apapun yang ia mau sesuai dengan impresi yang ia dapatkan.[1]
Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September |
Pada sebuah adegan yang menggambarkan momen horor dan kehilangan dalam sebuah keluarga sederhana di desa, rangkaian adegan dimulai dari suasana Taman Kanak-Kanan yang ceria di kota yang menampilkan Ade Irma Suryani (diperankan oleh Keke Tumbuan) yang kemudian berpindah pada adegan seorang bocah dan ibunya yang tengah berada di sebuah stasiun yang kosong. Suara nyanyian TK berubah menjadi alunan musik Sunda, visualisasi tokoh bocah dan ibunya pun mengarahkan identifikasi pada sosok yang tidak berasal dari kota. Tiba-tiba, adegan berpindah pada shot extreme close-up mata dan mulut seorang lelaki (jenis shot yang sama beberapa kali muncul pada filem ini untuk menggambarkan D.N Aidit yang ambisius, diperankan oleh Syubah Asa).[2] Adegan tersebut kemudian diikuti dengan peristiwa terbunuhnya seorang lelaki di desa dan suasana dukacita istri dan anak yang ia tinggalkan. Pentingnya maskulinitas Ayah ditekankan justru dengan kematiannya. Skema yang muncul di bagian awal filem ini kemudian muncul berulang-ulang kali pada pertengahan hingga akhir filem dalam bentuk penculikan dan pembunuhan para Jenderal.
Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September |
Peristiwa kehilangan sosok Ayah yang dialami bocah bernama Urip tersebut dan ibunya menemukan penebusan mereka lewat migrasi ke kota. Tatapan awal tentang kota dalam rangkaian adegan Urip ini adalah tatapan akan industri yang muncul dalam bentuk suara dan rel kereta api. Hal ini terasa kian tegas pada adegan lainnya tentang Urip, ketika sebuah bidikan low angle kepada puncak Monas kemudian beralih pada close up wajah Urip yang seakan sangat kehausan, seakan hendak mereguk Monas. Lebih dari sekadar sebuah adegan yang berusaha menunjukkan lokasi, adegan ini malah mengingatkan saya pada situasi ketika orang-orang di desa pertama kalinya menginjak kota dan melihat langsung apa yang biasanya hanya bisa ia lihat di TV: kagum dan penuh hasrat. Tentu sulit menampik bahwa bentuk Monas yang menyerupai phallus itu merupakan penanda atas maskulinitas, dan barangkali juga modernitas.
Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September |
Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September |
Lain halnya dengan Urip, seorang anak perempuan dalam keluarga menengah yang tengah dirundung kesulitan ekonomi muncul berkali-kali dalam keseluruhan filem ini, tapi tidak sekalipun berbicara. Ia terus menerus bergerak dan bekerja, memungkinkan monolog dan dialog Ayahnya tidak terganggu namun tak sekalipun berbicara maupun nampak berniat melakukannya. Ia bergerak secara luas dan jelas seolah jalur geraknya adalah sebuah lintasan kebiasaan yang telah sepenuhnya diingat tubuhnya. Koreografi yang serupa berulang pada kemunculan anak gadis itu selanjutnya. Ia, dalam bingkai sebuah keluarga, hadir melalui aktivitas kerjanya saja. Ia digambarkan sebagai subjek yang terus menerus bergerak tetapi juga diam secara bersamaan. Mengutip Hsu Fang-Tze, seorang akademisi dari Taiwan, anak gadis ini digambarkan seperti huruf-huruf bisu dalam Bahasa Inggris, ada tetapi tidak dibunyikan.[3]Sunyinya, di tengah percakapan tanpa habis antara Ayah dan kakak lelakinya sedikit mengingatkan saya pada kepatuhan penonton filem dalam ruang-ruang pemutaran yang dikondisikan sakral, sepenuhnya gelap, dan tak berisik. Kehadirannya diperlukan sebagai pengabsahan cerita dan narasi tetapi tidak untuk bercerita balik, setidaknya sampai pada masa di mana kamera tidak melulu menjadi kemewahan yang dimiliki kelompok-kelompok tertentu saja.
Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September |
Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September |
Filem, dalam hal ini pun, merupakan sebuah representasi atas
seperangkat referensi sosial, kultural, ekonomi, politik dan teknologis yang
mewujud dalam tatapan kamera. Oleh karenanya, ia pun adalah visi tentang
idelogi, identitas dan persepsi yang menata segala yang direkam menjadi sebuah
kesatuan gambaran tentang dunia (image of the world) yang berevolusi
menjadi dunia gambar (world of image) yang independen, yang
terkomunikasikan pada publiknya lewat sinema. Ikatannya pada realitas yang
sebelumnya ia ambil menjadi kian kendur bahkan bisa jadi terputus dan hubungan
arbitrer yang baru pun terbentuk. Dunia gambar yang kemudian bekerja secara
kolektif dalam filem adalah sejarah itu sendiri, dalam kebenarannya sendiri,
dan pada amplifikasi yang masif mungkin menjadi sebuah rezim. Sebagaimana dalam
sistem tatabahasa, kata-kata tersusun menjadi kalimat dan meresonansikan
informasi melalui reseptor menuju pikiran hingga mengendap dalam lokus mental.
Begitu didaktis hingga dengan mudahnya dapat ter-refleksi kembali melalui tubuh
yang berlaku.
Dalam sebuah pilihan bahasa sinema yang menabrakkan realitas dokumenter dan fiksi, kefiksian seluruh dunia gambar justru menjadi kentara. Sebuah adegan, nyaris di penghujung filem ini yaitu pada menit ke-258, menghadirkan sebuah kamera yang menyorot ke arah penonton filem. Gambar-gambar berwarna yang hadir sejak awal filem ini lalu segera diganti dengan gambar hitam-putih hingga kredit penanda film akan berakhir muncul. Meski pembahasan konten adegan dalam tulisan ini merujuk pada versi panjang filem ini, yang mana pada sekuens tertentu berbeda dengan versi pendeknya, namun persoalan warna ini muncul pada kedua versi. Saya simpulkan bahwa perihal kamera dan pewarnaan ini adalah pilihan estetika Arifin yang barangkali juga mengingatkan kita bahwa 272 menit gambar bergerak ini adalah sebuah filem.
Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September |
Memori adalah gambar di pikiran
Saya pernah bicara pada seorang kawan, bahwa filem karya
Harun Farocki bukanlah jenis yang mudah dan umum ditonton. Akan tetapi, justru
kedua hal itulah yang memberi rasa ketergangguan ketika menonton filemnya,
mengajak penontonnya berpikir kembali tentang gambar-gambar serupa namun tak
sama yang sehari-hari kita lihat hingga konsepnya menetap di kepala kita. Di
sisi lain, filem-filem Farocki pun seolah menawarkan metode untuk merefleksikan
kembali bagaimana gambar-gambar, sebagaimana kata, juga merupakan suatu
aparatus yang terkonstruksi dan memproduksi informasi, pengetahuan serta
subjektivitas.
Pada karya-karyanya, Farocki banyak mengindikasikan
bagaimana gambar tak lagi dapat dihadirkan sebagai sebuah representasi semata,
namun juga sebagai kritik dan refleksi akan konsep representasi itu sendiri.
Ketika membaca sinopsis-sinopsis filemnya – yang belum bisa saya tonton semua
karena keterbatasan akses – sejak tahun 1966 hingga tahun 2013, terlihat
bagaimana Farocki menelusuri gambar tak hanya pada satu medium representasi
saja. Ia berusaha membedah estetika mulai dari lukisan, fotografi, video,
filem, hingga pada gambar-gambar yang diproduksi secara digital dalam
bentuk game. Beberapa karya Farocki, antara lain seperti seri Parallel (2012-2014),
seri Serious Games (2009-2010), dan Inextinguishable
Fire (1969), memperlihatkan bagaimana dunia gambar terhubung kuat
pada bagaimana manusia kemudian mempersepsikan dan merespons peristiwa di
sekelilingnya.[4] Gambar-gambar yang ia hadirkan tak hanya menginterpelasi
sistem tanda tertentu namun juga ‘melakukan’ sesuatu terhadap realitas fisik di
luar filem. Ia – nyaris selalu – adalah bagian dari sebuah operasi.
Sebuah konsep yang disebut operative images didefiniskan
Farocki menyasar gambar-gambar yang bukan diproduksi dalam rangka menghibur
maupun memberikan informasi, sebab ia tak merepresentasikan objek, melainkan
sebuah operasi.[5] Dalam konsep tersebut, gambar-gambar dikatakan hadir
sebagai sebuah visi mesin intelejen yang melihat dengan mekanisme otomatis nan
independen sebagai efek bawaan dari mata mesin. Darinya terlihat bagaimana
kerja mesin pemroduksi gambar siap memulai suatu rezim visual yang – biasanya –
tak berjauhan pula dengan kepentingan rezim ekonomi dan politik. Rezim ini tak
selalu muncul hanya dari bentuk keotoriteran aturan seperti yang biasanya
muncul dalam hukum negara. Kadang ia juga bisa lahir melalui gambar-gambar yang
bergerak untuk menghibur ataupun mengedukasi pemirsanya, pada sinema di
antaranya.
Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September |
Penggunaan sinema sebagai medium inkripsi pengetahuan dan subyektivitas tertentu oleh negara pernah terjadi cukup intensif di Indonesia pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto di tahun 1966-1998. Pada masa itu, produksi gambar bergerak merupakan salah satu aspek yang sangat diperhatikan negara. Bermula sejak tahun 1950-an yang berlanjut hingga era Orde Baru, departemen-departemen pemerintah dan kelompok-kelompok militer mendanai sejumlah filem sebagai medium propaganda. Hal ini berlanjut dilakukan secara terbuka ketika Perusahaan Film Negara (PFN) sejak tahun 1978 mulai memproduksi filem yang rata-rata bertema peristiwa sejarah pada berbagai era untuk menekankan rasa nasionalisme, namun juga cenderung mengkultuskan tokoh tertentu. Memasuki tahun 1980-an, sensor filem lokal pun diperketat dengan adanya kode etik bagi produksi film. Kode etik ini rata-rata menyangkut bagaimana pandangan akan moralitas dan ideologi Indonesia seharusnya ditampilkan. Kurasi yang ketat ini juga terjadi pada pertelevisian dimana kanal saluran televisi yang mengudara hanya berasal dari negara, setidaknya hingga tahun 1989. Dengan demikian pilihan estetika yang dilihat warga saat itu pun terbatas.
Tangkapan Layar Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September |
Filem Pengkhianatan Gerakan 30 September yang
diproduksi oleh PFN ini pada masanya diputarkan tak hanya di bioskop tapi juga
di sekolah-sekolah, lapangan terbuka dan televisi. Menurut cerita yang pernah
saya dengar, sejak rilisnya pada 1984, filem ini menjadi tontonan wajib yang setidaknya
dalam setahun sekali diputarkan di TV dan harus ditonton. Karena terbatasnya
kanal gambar waktu itu, tentu filem ini menjadi rujukan yang didaktis soal
peristiwa 1965 tersebut, yang konon benar-benar terjadi dalam catatan sejarah.
Namun semua kondisi tersebut berakhir ketika kekuasaan
Soeharto diakhiri oleh tuntutan besar-besaran mahasiswa akibat krisis ekonomi
dan kebutuhan akan sistem yang lebih demokratis. Di tahun 1998, pemutaran
filem Pengkhianatan Gerakan 30 September di TV dihentikan dan
bahkan untuk sekian lama, filem ini terkesan menghilang begitu saja.[6] Saat
saya masih di bangku Sekolah Dasar, saya ingat salah seorang guru les saya
sempat mengatakan untuk tidak perlu menonton filem ini karena ia tidak ‘benar’.
Saya sendiri sampai sekarang tidak menahu dengan pasti, ‘benar’ seperti apa
yang ia maksud. Tetapi pesan tersebut membuat saya baru menonton filem ini jauh
ketika saya sudah bukan kanak-kanak dan bukan untuk rujukan sejarah pula. Ia
saya temukan sendiri pada cloud YouTube, dalam durasi 217 menit,
dengan kondisi gambar yang tidak baik akibat proses digitalisasi dari
VCD/DVD.[7] Sejalan dengan filem ini yang mulai menghilang dan hanya muncul
dengan gambar yang pecah-pecah, perdebatan akan kebenaran sejarah pun
bermunculan dengan fragmentasi masing-masing yang tak selalu sama, seiring
dengan kanal-kanal pilihan estetika lainnya yang juga mulai terbuka lebar. Era
digital semakin memperluas pilihan tersebut dan rujukan sejarah tak lagi
tunggal.
Dalam kontroversi sejarah yang terus berlanjut, filem ini
kembali muncul pada September tahun 2017 lalu dalam arus perdebatan sejarah. Ia
sepertinya sangat sulit dilepaskan dari konteks awal kemunculannya, dan mungkin
memang tidak akan pernah bisa. Orang-orang berniat mengingat sejarah dan
menganjurkan untuk kembali menonton filem Pengkhianatan Gerakan 30
September. Komando, mulai dari tingkat pimpinan militer hingga pada tingkat
kepala RT, pun dikeluarkan dalam rangka menggiring warga dari berbagai lapisan
usia untuk menonton filem ini baik lewat nobar (nonton bareng)
ataupun lewat saluran TV yang memutar filem tersebut. Anak-anak tetangga saya
di suatu pagi dekat penghujung bulan September 2017 sempat bercerita di teras
tempat mereka biasa nongkrong tentang pengalaman
mereka nobar filem Pengkhianatan Gerakan 30 September, yang
lazimnya mereka sebut dnegan judul “G30SPKI”. Pagi 29 September 2017, saya pun
mendengar cerita ibu-ibu tetangga yang semalam menonton filem itu di salah satu
saluran TV swasta. Ia tak menuntaskannya, sebab terlalu banyak
kekerasan.[8] Namun ia terkejut-kejut sebab, setelah hampir 18 tahun tidak
terlihat di layar TV pada tiap bulan September, filem itu telah kembali muncul
dengan gambar yang begitu bening. September tahun 2018 ini pun ia kembali
ditayangkan oleh salah satu stasiun TV swasta.[9] Saya sendiri tidak
menonton karena tak punya TV, jadi saya tak tahu berapa panjang durasi yang
ditayangkan. Namun saya pun sempat menonton filem ini dalam kualitas yang baik
sebagai hasil digitalisasi seluloid, dengan durasi yang lebih panjang dari yang
saya temukan di Youtube, yaitu 272 menit.
Salah satu bagian dari pencarian tagar #nobarg30spki |
Kehidupannya di medium Instagram berlanjut hingga tahun ini, sebagaimana kemunculan ia di TV pada September 2018 lalu. Namun berbeda dengan kemunculannya di TV sebagai semata filem, pada Instagram ia hadir dengan banyak penerjemahan. Lewat tagar #g30spki yang berisi 30,789 unggahan,[10] filem ini justru tak banyak muncul. Ia digantikan dengan reka adegan dari anak-anak sekolah yang sepertinya sedang bermain teater, foto-foto diorama peristiwa Gerakan 30 September serta berbagai poster dan seruan. Iklan dan hal-hal lain yang seringkali tak ada urusannya dengan filem ini pun juga disematkan dengan tagar yang sama dan, akibatnya, muncul juga dalam daftar foto atau video yang diunggah dengan tagar ini.
Salah satu bagian dari pencarian tagar #nobarg30spki di tahun 2017 |
Salah satu bagian dari pencarian tagar #nobarg30spki di tahun 2017 |
Salah satu bagian dari pencarian tagar #nobarg30spki di tahun 2018 |
Akan tetapi, konten unggahan pada tahun 2017 kian bergeser pada tahun 2018 ini. Jumlah unggahan per 5 November 2018 pukul 6:14 WIB menjadi 2,567 unggahan.[11] Penambahan sekitar 100 unggahan tersebut tak banyak menampilkan aksi atau peristiwa menonton seperti di tahun sebelumnya. Gambar-gambar yang muncul pun kebanyakan belum tentu produksi kamera telepon genggam sebab kebanyakan yang saya temui adalah poster, video, seruan, atau malah iklan. Tentunya konteks tahun 2018 yang kian mendekati tahun politik 2019 pun menjadikan latar politik dalam filem ini membuatnya rawan disposisikan sebagai sekedar gorengan politik. Namun demikian, aksi-aksi pengguna Instagram di Indonesia yang cenderung berhasrat ambil bagian pada peristiwa bersejarah nobarg30spki sudah tak seheboh tahun 2017 lalu, ketika dalam hitungan hari ribuan gambar berisi aksi menonton muncul dengan tagar #nobarg30spki.
Salah satu bagian dari pencarian tagar #nobarg30spki di tahun 2018 |
Namun, apakah unggahan tersebut adalah bentuk keagensian dari warga yang menggunakan kamera untuk menarasikan balik peristiwa? Saya masih sangsi. Rezim, bagi sebuah negara yang pernah hidup dalam keotoriteran tidaklah hadir melulu dalam tata aturan hukum yang mengatur. Ia bisa saja hadir dalam sebuah karya audiovisual yang begitu apik hingga mampu awet bahkan setelah rezim tersebut berlalu. Peristiwa sejarah menjadi monumental bukan selalu karena peristiwanya yang besar tetapi justru resonansinya dan paparannya kepada orang-orang hingga mengubah cara massa merespon pengalaman suatu peristiwa lainlah yang membuatnya mengkristal dan gigantis. Memori atas paparan tersebut mampu membangun sebuah standar tentang bagaimana menatap dan berlaku. Ia menjadi gambar yang bergerak dalam kepala, terus-menerus, hingga kita bahkan tak tahu seberapa cepat ia bergerak dan membantu kita menerjemahkan pengalaman-pengalaman. Inskripsi gambar yang berubah menjadi inskripsi memori.
*Teks ini dibacakan pada acara Farocki Now: A temporary
Academy tanggal 18 – 21 Oktober 2017 di Berlin dan dalam versi ini telah
mengalami penyuntingan maupun penyesuaian ulang.
↑1 Eric Shouse
dalam Feeling, Emotion, Affect dari M/C Journal vol. 8, Issue 6, Dec. 2005
http://journal.media-culture.org.au/0512/03-shouse.php
↑2 Tulisan
tentang estetika filem Pengkhianatan Gerakan 30 September dalam menggambarkan
tokoh-tokoh dan peristiwanya dapat dibaca lebih lanjut dalam tulisan Hafiz
Rancajale berjudul “Mari Belajar Bahasa Filem dari Pengkhianatan G 30S/PKI”
terbitan Jurnal Footage pada 1 Oktober 2010, tautan
https://jurnalfootage.net/v4/mari-belajar-bahasa-filem-dari-pengkhianatan-g-30spki/
, diakses pada 7 November 2018 pukul 16:00 WIB.
↑3 Fang-Tze,
Hsu. When Dead Labor Speaks: Subjectivity, Subjugation and Meta-Cinema. Forum
festival 2017. Jakarta, Forum Lenteng. 2017. Hlm 9 dan 138.
↑4 Tulisan yang
lebih lengkap tentang bagaimana ketiga filem tersebut mengkomunikasikan ide
tentang imajinasi yang dibentuk oleh media representatif dapat dibaca pada
tulisan Manshur Zikri, Yang Paralel dari Sang Komandan Farocki, di Jurnal
Footage terbitan 7 November 2014 di tautan
https://jurnalfootage.net/v4/yang-paralel-dari-sang-komandan-farocki/ , diakses
pada 6 November 2018, 21:51 WIB.
↑5 Dari teks
Phantom Images karya Harun Farocki versi terjemahan Bahasa Inggris Brian Poole.
Teks tersebut dihadirkan pada sebuah acara diskusi di ZKM, Karlsruhe, Jerman
pada tahun 2003. Teks ini dapat diunduh pada tautan https://public.journals.yorku.ca/index.php/public/article/view/30354/27882
, diakses pada 6 November 2018, 22:08 WIB.
↑6 “Tiga Tokoh
di Balik Penghentian Pemutaran Film G 30 S PKI”. TEMPO.CO. terbit pada Senin,
18 September 2017 pukul 07:56 WIB. Diakses pada 7 November 2018 pukul 12:21 WIB
tautan
↑7 Pada saat
tulisan ini pertama kali dibuat, yaitu pada 10 Oktober 2017, unggahan filem ini
yang ada di Youtube hanyalah yang berdurasi 217 menit dengan kualitas kurang
baik. Menggunakan kata kunci pencarian yang sama, hari ini ketika tulisan ini
diperbarui pada 7 November 2018, di Youtube telah ada unggahan filem ini dengan
kualitas yang sangat baik, namun durasinya masih sangat bervariasi. Tautan
https://www.youtube.com/results?search_query=g30s+pki merujuk pada laman
pencarian di Youtube, akses terakhir pada 7 November 2018 pukul 12:29 WIB.
↑8 “Saksikan,
Film Pengkhianatan G30S/PKI di tvOne Malam Ini”. Ansyari, Syahrul. Viva.co.id
terbit [ada Jmat, 29 September 2017 pukul 08:12 WIB. Tautan
https://www.viva.co.id/berita/nasional/961566-saksikan-film-pengkhianatan-g30s-pki-di-tvone-malam-ini
diakses pada 7 November 2018, pukul 12:23 WIB.
↑9 “Pemutaran
Film G30S PKI Malam Ini di TV One, Karni Ilyas Ungkap Hal Ini”.
TribunPekanbaru.com, terbit pada Minggu, 30 September 2018 08:07 tautan
http://pekanbaru.tribunnews.com/2018/09/30/pemutaran-film-g30s-pki-malam-ini-di-tv-one-karni-ilyas-ungkap-hal-ini
diakses pada 7 November 2018, pukul 13:35 WIB.
↑10 Situs web
Instagram dan pencariannya dapat dikunjungi pada tautan https://www.instagram.com/explore/tags/g30spki/
.Namun setiap saat jumlah dan kontennya dapat terus berubah. Akses terakhir
pada 7 November 2018 pukul 19:00 WIB.
↑11 Situs web
Instagram dan pencariannya dapat dikunjungi pada tautan
https://www.instagram.com/explore/tags/nobarg30spki/ . Namun setiap saat jumlah
dan kontennya dapat terus berubah. Akses terakhir pada 14 Oktober 2018 pukul
00:53.