Kelekatan: Merindu, Melekat, Menghancurkan
I.
Jika ada
salah satu hal yang benar-benar saya pahami betul saat melewati periode awal pandemi
covid19, tentu ialah pelajaran tentang bagaimana menambal-sulam kerinduan lewat
piksel-piksel yang berpendar di layar gawai. Janggalnya, kegiatan serupa
sebetulnya bisa saja diterapkan sejak sebelum pandemi sebab toh
fitur-fitur internet sebelum dan saat pandemi tak banyak berubah. Teknologinya
sama, hanya kemudian manusia yang mulai menatapnya dengan cara yang beda akibat
perubahan konteks.
Pada
situasi inilah, kolektif Kamarkost.ch memproduksi karya-karya kolase fotografi
dalam seri “Kelekatan”. Berjumlah 29 gambar kolase fotografi, seri karya “Kelekatan”
dipamerkan secara daring di platform Instagram akun @kamartkost.ch[1]
pada periode waktu 25 – 31 Desember 2021. Jika pada umumnya karya kolase hari
ini memilih medium cetak sebagai basis berkaryanya, Kamarkost.ch memilih
menggunakan tubuh-tubuh para senimannya beserta benda-benda domestik sebagai
komponen kolasenya. Selain itu, alih-alih menempel menggunakan lem, Kamarkost.ch
melekatkan elemen-elemen visual dengan stilasi gerakan tubuh yang lalu
dibekukan lewat bidikan kamera fotografi.
Aksi-aksi
ini menjadi bentuk upaya penerjemahan dan pengutaraan Kamarkost.ch mengenai tema
kerinduan, terutama tentang kegiatan-kegiatan bersama di dalam rumah. Dengan
meninjau waktu dan konteks pembuatan karya, dapat pula kita baca bahwa seri
karya “Kelekatan” ini merupakan bentuk tinjauan ulang pengalaman pada masa-masa
penjarakkan fisik yang memaksa manusia berlama-lama di rumah dan menjadi lekat
dengan objek-objek yang ada di dalam dan sekitar rumah. Kerinduan inilah yang diterjemahkan
lewat upaya melekatkan diri pada benda, ruang, dan imajinasi gerak tertentu. Penerjemahan
kerinduan itu sekurangnya terbagi dalam beberapa segmen yaitu segmen berlatar
putih, segmen berlatar dinding bata, segmen berlatar moda transportasi, dan
segmen berlatar kasur. Masing-masingnya berisi gambar yang secara jumlah sangat
variatif. Di dalam gambar, kita bisa melihat tubuh Anisa Nabilla Khairo, Mardi
Al Anhar, dan Xabat Puti Ameh melekat dengan benda-benda rumah tangga seperti
kasur, jemuran putar, tas, keranjang bayi, tutup keranjang cucian, aneka pakaian,
dan berbagai benda rumah tangga lainnya. Ditumpuk, dibolak-balik, diangkat,
dikemukakan hingga diselubungkan, benda-benda ini diatur sedemikian rupa agar
tidak menjadi asing dengan tubuh-tubuh para seniman. Mereka menjadi seakan satu
kesatuan elemen rupa saat penyusunannya menjadikan benda melekat kepada tubuh
dan ruang.
II.
Sebagai
sebuah karya kolase, pilihan membuat kolase dari material 3D yang ditangkap
oleh lensa kamera pada karya “Kelekatan” memang cukup tak lazim. Bermula di
tahun 1910an dari praktik seniman Kubisme, Georges Braque dan Pablo Picasso,
proses membuat kolase memang sejak awal telah melibatkan berbagai medium. Secara
bahasa, kata “kolase” merupakan penerjemahan dari kata Bahasa Inggris
“collage”, yang berakar dari kata ”coller” dari Bahasa Perancis, yang artinya
adalah “melekatkan/menempelkan”.[2] Praktik
kolase ini kemudian berkembang merambah melibatkan medium-medium yang berkaitan
erat dengan objek-objek yang biasa diproduksi untuk konsumsi massal dan
penggunaan komersil.[3]
Hal ini membuat kolase relatif identik dengan upaya kritik terhadap budaya
konsumsi massal, meski ia tidak harus selalu berlaku demikian. Seiring dengan
perkembangan media massa cetak, praktik kolase pun kerap menggunakan material
media massa cetak, baik sebagai upaya kritik maupun bentuk kesadaran
perkembangan media. Selain itu, tak jarang praktik kolase muncul dalam bentuk photomontage
dimana realitas yang diproduksi oleh kamera bukan lagi hanya imitasi atau salinan
dari kenyataan, namun juga adalah hasil kerja produksi kenyataan yang
terkonstruksi.
Pada “Kelekatan”,
ketimbang memotret realitas sebagaimana adanya, kamera justru dioptimalkan
potensinya oleh praktik kolase ketubuhan untuk memungkinkan seniman
menghadirkan realitas dalam bentuk yang diimajinasikannya; realitas tentang
kerinduan. Fotografer Mia Aulia dengan kamera-nya pun memainkan peran penting
sebab bidikannyalah yang melekatkan elemen-elemen visual karya ”Kelekatan”,
mentransformasikan kolase 3D ke dalam bentuk 2D. Benda-benda keseharian yang biasa
kita lihat pun ditarik keluar dari keseharian untuk diletakkan dalam bingkai
kamera dan dilekatkan secara visual dengan tubuh para seniman. Baik benda,
tubuh, maupun ruang kemudian sama-sama terlepas dari esensi fungsional yang
selama ini kita kenal. Mereka sama-sama berubah menjadi gambar, menjadi visual;
garis, bentuk, tekstur, warna.
![]() |
Karya-karya “Kelekatan” dalam segmen berlatar putih. Karya ini dapat disaksikan di akun @kamartkost.ch |
Pada segmen yang berlatar putih, lengan-lengan dan tubuh yang dibalut kaus hitam berubah menjadi garis saat mereka melekuk dalam pose yang menggarisbawahi keberadaan warna hitam di atas latar putih. Tas merah muda, jemuran putar merah terang, dan tutup keranjang cucian disebar di dalam gambar dengan intensi yang tak hanya memperkaya warna dan tekstur gambar, namun juga merusak tampilan tubuh manusia yang utuh. Pada titik ini, kekontrasan warna dan garis objel-objek tersebut terasa sangat menarik pandangan mata. Dari pilihan benda yang rata-rata terkait dengan cucian, tahulah kita bahwa terangnya warna-warni ini adalah sebuah pengutaraan tentang rindu yang domestik.
![]() |
Karya-karya “Kelekatan” dalam segmen berlatar kasur dan objek transportasi. Karya ini dapat disaksikan di akun @kamartkost.ch |
Sedangkan
pada ketiga seri lainnya, tubuh dibiarkan terlihat berbalut warna aslinya, baik
dengan cara dibiarkan terbuka atau dibalut kain coklat. Meski tak lagi dibalut
kain hitam, pose tubuh manusia tetap melekuk, memanjang, dikelitkan dan dibangun
untuk menciptakan garis tertentu. Garis-garis ini kemudian ditumpuk dan
ditabrakkan dengan garis-garis hitam dari ban, garis-garis perak dari troli
belanja, serta garis-garis halus dari kasur yang dijemur. Garis-garis visual
yang bertabrakan bertempelan satu sama lain ini membangun kesatuan dan bahasa
visualnya sendiri, dalam hal ini adalah pembahasaan tentang rindu yang domestik.
Meskipun benda-benda
yang digunakan di karya ini adalah objek yang familiar kita kenali, namun
lantas mereka menjadi sedikit asing saat mereka seakan punya hakikat dan
hidupnya sendiri, di luar definisi yang berpusat pada fungsionalitas
sehari-hari. Keberadaannya bukan lagi soal guna tapi juga soal materialnya itu
sendiri dan kesan visual yang mampu ia timbulkan. Pakem komposisi pun digeser
dengan gambar-gambar konstruktif yang berupaya mengimajinasikan tentang rindu,
rumah, dan lekat. Lekat sebagai metode kolase, lekat secara visual, lekat
secara gestur ketubuhan, lekat sebagaimana yang dihasrati dalam sebuah
kerinduan.
Memilih
memamerkan karya di platform Instagram yang terkenal dengan dominasi
citra-citra ideal, gambar-gambar dalam seri “Kelekatan” pun menawarkan gangguan
pada citra tentang kehadiran tubuh, ruang, dan benda keseharian. Apa yang
disebut dengan estetika Instagram pun diganggunya saat wajah dan tubuh manusia
justru dihancurkan bentuknya hingga ia melekat dengan benda-benda keseharian, menjadikan
benda dan manusia nilainya sama sebagai gambar. Pun pilihan bendanya tentu
bukan benda yang termasuk dalam koridor estetika khas Instagram kekinian baik
secara warna, tekstur, maupun bentuk. Namun kesederhanaan dan keumuman
benda-benda inilah yang justru membuat gambar-gambar “Kelekatan” sangat terbuka
pada berbagai interpretasi. Orang bisa saja dengan bebas menilainya sebagai
representasi kehidupan domestik, kenangan masa kecil, hingga bahkan menyoal isu
sosial ekonomi.
Kita bisa
menganggap pula bahwa sebagaimana hidup sehari-hari yang disalin secara
konstruktif ke dalam piksel-piksel berpendar di layar media sosial,
gambar-gambar “Kelekatan” pun adalah hasil konstruksi atas kenyataan
sebagaimana diimajinasikan oleh senimannya. Potensi gangguan atau bahkan dekonstruktif
dalam seri “Kelekatan” pun ditujukan kepada kemapanan citra-citra yang tersebar
pada ruang media sosial, sekurang-kurangnya pada linimasa pemirsa akun @kamartkost.ch.
Tubuh manusia yang biasanya hadir mendominasi linimasa di Instagram dengan
pose-pose tertentu yang terkesan template justru dihadirkan dalam
pose-pose janggal sembari bertaut erat dengan benda-benda rumahan. Wajah yang
umumnya hadir gamblang justru dileburkan dengan ditempeli secara visual oleh
helm, tas, pakaian, atau bahkan tubuh manusia lainnya. Dalam hal ini, aksi
melekatkan justru bertransformasi menjadi upaya menghancurkan sebuah pakem
komposisi visual tertentu yang telah mapan.
Menelusuri
lebih jauh pemikiran mengenai media kontemporer dan fotografi, Vilém Flusser pernah
memaparkan bahwa loop feedback atau lingkaran umpan balik antara gambar
dan pemirsanya memungkinkan gambar-gambar berubah menjadi sebagaimana yang
diinginkan sang pemirsa, sedangkan para pemirsa pun berubah menjadi sebagaimana
yang diinginkan gambar-gambar.[4]
Meski pendapat ini ditulis dalam rangka membayangkan fotografi di tengah
penemuan teknologi komputer di tahun 1970an hingga 1980an, agaknya pemikiran
ini masih cukup relevan untuk dihadapkan dengan situasi fotografi dan
masyarakat media kini. Kita bisa meninjaunya terutama pada bagaimana platform
seperti Instagram mampu menciptakan sejenis estetika visual tersendiri yang
kemudian membentuk selera pemirsa/penggunanya.
![]() |
Foto: Salah satu arsip karya Kamarkost.ch di Tamera Showcase #5 (2022) |
Media sosial sebagai ruang yang dinamis pun memang selalu memungkinkan adanya lingkaran umpan balik antara gambar dan pemirsanya yang berlangsung tanpa akhir, berkat gerak algoritme. Hal ini secara aktif mampu membentuk hasrat pemirsa, yakni orang-orang yang ada di balik layar gawai yang bergerak dalam jejaring media sosial. Gambar kian berubah menjadi citra ideal yang dihasrati pemirsa. Tubuh, pengalaman, berbagai emosi seperti cinta, kesedihan, kebahagiaan dibekukan sebagai gambar-gambar dengan kekhasan bentuk tertentu yang kemudian mengalami umpan balik hingga menjadi terjemahan ‘ideal’ tentang berbagai hal. Di saat yang sama, sang pemirsa justru semakin berhasrat menjadi apa yang gambar-gambar tersebut citrakan. Sebagaimana Flusser pun mengatakan bahwa aksi memotret dengan segala gerak dan teknik fotografi telah menjadi sejenis pemrograman tubuh bagi masyarakat, gambar-gambar di media sosial secara ritmis pun telah terus memprogram masyarakat; tubuhnya, konturnya, lanskapnya, naturnya, hasratnya, kerinduannya. Dan kita terus berada dalam lingkaran umpan balik antara gambar dan pemirsanya, sebuah proses kontruksi-dekonstruksi yang panjang dan mungkin tanpa akhir.
IV.
Menelisik
ulang 29 gambar kolase fotografi pada seri karya “Kelekatan”, tubuh-tubuh yang
berjibaku melekat dengan benda-benda keseharian ini bukanlah tubuh yang
menghasrati komposisi indah purna Instagram-able. Tubuh-tubuh ini adalah
tubuh yang menghasrati eksplorasi rupa untuk menyingkap gagasan tentang
kelekatan, tentang yang lekat, dan mungkin tentang kolase itu sendiri jika
meninjau muasal kata ‘kolase’ yang berarti ‘melekatkan’. Ia menyingkap
kehidupan material benda-benda dalam gambar, ketimbang hanya mengomposisikannya.
Ia melekatkan visual justru untuk merenggangkan sebuah konstruksi di kepala
pemirsa tentang sebaran visual pada media Instagram. Ia melekatkan tubuh,
benda, dan ruang untuk memaknai rindu pada dalam kondisi berjarak serta rindu
pada sebuah kekayaan rupa di media. Dalam metode inilah, justru kesederhanaan
benda-benda keseharian yang dihadirkan pada “Kelekatan” memunculkan daya gugah
untuk membicarakan hal-hal yang mungkin tidak sederhana, sebagaimana rindu pun memang
tak pernah sederhana.
Jakarta, 2022
Teks ini pertama kali diterbitkan di https://gubuakkopi.id/2022/08/21/kelekatan-merindu-melekat-menghancurkan/
pada 21 Agustus 2022 sebagai bagian dari Pengantar Pameran Tamera Showcase #5 –
Kamarkost.ch di Rumah Tamera, salah satu presentasi proyek regular yang
dikelola oleh Rumah Tamera Hub, dalam menyoroti inisiastif dan proyek-proyek
anak muda di Sumatera Barat. Pada seri ke-5 ini, Tamera Showcase menghadirkan
Kamarkost.ch salah satu kolektif asal Kota Padang.
[2] “CollageArt – A History of Collage as an Artistic Medium”. ART IN CONTEXT. Diunggah pada 1 Maret 2022. Diakses pada 17 Agustus 2022.
[3] Ibid.
[4] Woodall
Richard. Syllabus for the Internet Telematic Society: On Vilém Flusser‘s
philosophy of what a camera wants, and what such a perspective misses.
Diunggah pada 18 Juli 2022. Diakses pada 16 Agustus 2022. https://reallifemag.com/telematic-society/