Hasta Brata untuk kafha
Dengan salamah aku menyapa Ibu Bumi. Yang dengan segala keikhlasannya menerima segala kecam dan uji baginya. Yang dengan segala kesabarannya menjadi pangkuan tempat segala pengetahuan bertumbuh. Yang meski tubuhnya terluka ataupun diracun tetap memberi segala yang baik bagi anak- anaknya. Ia lah Ibu yang tiada kenal berontak ataupun keluh pada setiap jejak murka dan ego manusia.
Dengan segala puji aku merunduk mencium kehangatan pancar terang dari Sang Surya.
Baginya terang tidak pandang mata, baginya terang adalah untuk semua. Ia lah penghidupan bagi siapa saja, bagi segala luka dan tawa yang merindu dan tak merindu kasih. Cintanya tak memandang muka, tiada pula memandang jiwa. Ciumku yang terdalam untuk sinar yang tak pernah pilih kasih.
Dan melalui segala petang aku menyapa kecantikan Kartika, sang Bintang yang tiada pernah cemas oleh saput kabut dan desau angin. Dalam teguhnya ia ajeg di singgasananya. Dalam tegarnya ia kuarkan kebulatan tekad dan hati yang tak pernah bergeser itikad. Ia lah kecantikan yang abadi di antara yang abadi... Kekukuhan hati laksana tubuh berlian.
Halo.. Halo... Jelaga malam tidak pernah membuat Chandra yang penuh romansa berpaling. Aku menggelitiknya lewat duka yang tidak pernah tidak ada. Tapi Sang Chandra adalah rupa terang dalam kegelapan. Ia lah jejak cahaya di antara kekelaman yang paling kelam sekalipun. Baginya tiada sisi gelap ataupun terang, yang ada hanya pantul cahaya bagi setiap insan yang membutuhkan. Ia lah tangan bagi setiap manusia yang gulana. Ia lah penjaga kegelapan yang memastikan sang gelap tak akan pernah jadi terlalu gelap.
Tetapi di antara terang dan gelap tiada pernah boleh kita lupa pada surga kelana yang sejati, Samudera yang selalu biru dan membuat baru. Tiada amarah baginya ketika segala hal terbuang ke peluknya, bahkan tidak pula amarah bagi sejuta sampah dan marah. Ia tak pernah kotor dan dirangkulannyalah tersimpan maaf yang tak pernah habis. Ia lah muara yang mengajakmu untuk kembali memulai. Kau tak harus tetap tinggal dalam sesal, ia membimbingmu ke jalan yang baru.
Barangkali ia nyaris serupa dengan Sang Tirta yang begitu apa adanya dan leluasa menjadi segalanya. Tirta tak pernah meninggi. Dalam jalannya ia lah aliran yang berkelok menuju kerendahan. Ia lah runduk yang siap mengalah dan menjauh dari pongah. Ya... barangkali Tirta dan Samudera memang bersaudara. Salam tercinta bagi mereka !
Namun jika kau jumpa Bayu, kau akan lupa bersua salam dengannya. Ia lah telusup yang penuh susup dan Maha Pemberani. Kebebasan adalah tubuhnya yang dilengkapi dengan jari- jari yang mawas. Sang Bayu yang tanpa rupa memberi penghidupan baru yang menyegarkan. Ia lah tawa tanpa rupa, bahkan tanpa suara.
Dan bila kau sempat berputar ke lorong- lorong panas Ibu Bumi, temuilah Agni. Tiada kata tidak baginya. Baranya adalah bara semua. Panasnya tak akan pernah berhenti di tubuhnya. Ia lah pesona yang membakar segalanya agar jadi semembara dirinya. Tiada gentar, aral melintang hanyalah puing kecil yang pasti ia kobar bakarkan.
Dengan salamah aku menyapa delapan hasta brata. Mereka yang tiada pernah berhenti bergerak dan tiada punya ujung. Merekalah yang semakin hari kian besar.
Dengan salamah aku mengucap,"Rasuklah Duhai Hasta Brata! Hiduplah! Rasuk dan hiduplah pada raga kami yang sedang kerontang. Rasuk dan restuilah kami dalam pemaknaan kitab dan hikmah. Hiduplah!"
Maka dengan salamah aku membisik...
"Delapan tahun... Delapan Hasta Brata... Selamat lahir kembali Kitab dan Hikmah. Hiduplah kafha....."
NB: Special thanks to Pak Eka Wenats untuk naskah asli Hasta Brata yang dibacakan pada sambutan pembukaan Sewindu kafha :)
Dengan segala puji aku merunduk mencium kehangatan pancar terang dari Sang Surya.
Baginya terang tidak pandang mata, baginya terang adalah untuk semua. Ia lah penghidupan bagi siapa saja, bagi segala luka dan tawa yang merindu dan tak merindu kasih. Cintanya tak memandang muka, tiada pula memandang jiwa. Ciumku yang terdalam untuk sinar yang tak pernah pilih kasih.
Dan melalui segala petang aku menyapa kecantikan Kartika, sang Bintang yang tiada pernah cemas oleh saput kabut dan desau angin. Dalam teguhnya ia ajeg di singgasananya. Dalam tegarnya ia kuarkan kebulatan tekad dan hati yang tak pernah bergeser itikad. Ia lah kecantikan yang abadi di antara yang abadi... Kekukuhan hati laksana tubuh berlian.
Halo.. Halo... Jelaga malam tidak pernah membuat Chandra yang penuh romansa berpaling. Aku menggelitiknya lewat duka yang tidak pernah tidak ada. Tapi Sang Chandra adalah rupa terang dalam kegelapan. Ia lah jejak cahaya di antara kekelaman yang paling kelam sekalipun. Baginya tiada sisi gelap ataupun terang, yang ada hanya pantul cahaya bagi setiap insan yang membutuhkan. Ia lah tangan bagi setiap manusia yang gulana. Ia lah penjaga kegelapan yang memastikan sang gelap tak akan pernah jadi terlalu gelap.
Tetapi di antara terang dan gelap tiada pernah boleh kita lupa pada surga kelana yang sejati, Samudera yang selalu biru dan membuat baru. Tiada amarah baginya ketika segala hal terbuang ke peluknya, bahkan tidak pula amarah bagi sejuta sampah dan marah. Ia tak pernah kotor dan dirangkulannyalah tersimpan maaf yang tak pernah habis. Ia lah muara yang mengajakmu untuk kembali memulai. Kau tak harus tetap tinggal dalam sesal, ia membimbingmu ke jalan yang baru.
Barangkali ia nyaris serupa dengan Sang Tirta yang begitu apa adanya dan leluasa menjadi segalanya. Tirta tak pernah meninggi. Dalam jalannya ia lah aliran yang berkelok menuju kerendahan. Ia lah runduk yang siap mengalah dan menjauh dari pongah. Ya... barangkali Tirta dan Samudera memang bersaudara. Salam tercinta bagi mereka !
Namun jika kau jumpa Bayu, kau akan lupa bersua salam dengannya. Ia lah telusup yang penuh susup dan Maha Pemberani. Kebebasan adalah tubuhnya yang dilengkapi dengan jari- jari yang mawas. Sang Bayu yang tanpa rupa memberi penghidupan baru yang menyegarkan. Ia lah tawa tanpa rupa, bahkan tanpa suara.
Dan bila kau sempat berputar ke lorong- lorong panas Ibu Bumi, temuilah Agni. Tiada kata tidak baginya. Baranya adalah bara semua. Panasnya tak akan pernah berhenti di tubuhnya. Ia lah pesona yang membakar segalanya agar jadi semembara dirinya. Tiada gentar, aral melintang hanyalah puing kecil yang pasti ia kobar bakarkan.
Dengan salamah aku menyapa delapan hasta brata. Mereka yang tiada pernah berhenti bergerak dan tiada punya ujung. Merekalah yang semakin hari kian besar.
Dengan salamah aku mengucap,"Rasuklah Duhai Hasta Brata! Hiduplah! Rasuk dan hiduplah pada raga kami yang sedang kerontang. Rasuk dan restuilah kami dalam pemaknaan kitab dan hikmah. Hiduplah!"
Maka dengan salamah aku membisik...
"Delapan tahun... Delapan Hasta Brata... Selamat lahir kembali Kitab dan Hikmah. Hiduplah kafha....."
NB: Special thanks to Pak Eka Wenats untuk naskah asli Hasta Brata yang dibacakan pada sambutan pembukaan Sewindu kafha :)