Pengaruh Dunia Internasional terhadap Perkembangan Nasionalisme di Asia Tenggara Studi kasus: Nasionalisme Anti- Kolonial di Myanmar

A. Nasionalisme Anti- kolonial Asia Tenggara
Nasionalisme merupakan salah satu unsur yang menjadi awal dari pembentukan negara. Keberadaan sebuah negara tidak mungkin terjadi apabila nasionalisme suatu bangsa tidak terbentuk pada suatu kelompok masyarakat. Umumnya pada definisi nasionalisme modern yang banyak digunakan oleh negara Barat, nasionalisme dipandang sebagai suatu kesepakatan yang muncul akibat adanya kebutuhan bangsa terhadap budaya bersama. Hal ini ditujukan tidak hanya untuk mengenalkan solidaritas bangsa secara objektif tetapi juga mampu menyediakan kerangka pikir rasional bagi permasalahan yang terjadi dan menentukan arah bagi masa depan[1].
            Berbeda jauh dengan nasionalisme modern yang banyak dianut negara- negara Barat dengan jumlah keragaman suku bangsa yang minim, nasionalisme yang kemudian dianut atau terbentuk pada negara- negara Timur umumnya merupakan nasionalisme yang bersumber dari pergerakan anti- kolonialisme dan semangat untuk mempersatukan rasa kebangsaan. Nasionalisme anti- kolonial semacam ini terutama banyak ditemukan pada negara- negara bekas jajahan yang memiliki tingkat keragaman suku bangsa tinggi. Ia muncul dan berkembang sebagai suatu bentuk oposisi terhadap penguasa asing dan diarahkan sebagai bentuk perlawanan kaum pribumi terhadap eksistensi struktur kekuasaan yang diciptakan oleh negara. Dalam kerangka pikir politik semacam ini, dapat diinterpretasikan bahwa kebangkitan nasionalisme Asia dan Afrika merupakan Nasionalisme anti kolonial.
            Plamenantz kemudian mengkategorikan nasionalisme menjadi dua yaitu nasionalisme barat dan nasionalisme timur. Nasionalisme barat merupakan nasionalisme di dalam masyarakat yang telah maju yang ada sebagai upaya untuk mengatasi situasi yang tidak menguntungkan. Sedangkan nasionalisme timur merupakan nasionalisme yang muncul sebagai upaya untuk mengatasi keterbelakangan dengan cara meniru barat tetapi juga memusuhinya[2]. Dalam kenyataan di masa lampau, penjajahan yang terjadi justru kemudian menjadi stimulant yang memunculkan semangat nasionalisme dalam rangka mengakhiri keterbelakangan dan menjadi factor yang menentukan ke mana kemudian arah nasionalisme tersebut berkembang. Sedangkan jika ditarik pada konsep kekinian, perkembangan nasionalisme di negara- negara bekas jajahan tampak dipengaruhi oleh interaksi dengan pihak asing baik yang terjadi pada masa kolonial maupun post- kolonial. Pengaruh ini ada yang sifatnya tangible maupun intangible, baik pada struktur politik, ekonomi dan sosial negara maupun pada karakter budaya masyarakat negaranya.
            Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah di Asia yang banyak disinggahi bangsa asing, baik yang sifatnya hanya berdagang maupun yang kemudian berkembang menjadi penjajah. Letaknya yang strategis yaitu di jalur perdagangan dan pelayaran internasional membuat interaksi kawasan Asia Tenggara dengan  bangsa lain sangat sering terjadi. Bahkan jika ditelaah lebih jauh, rata- rata kelompok etnis yang mendiami Asia Tenggara merupakan kelompok etnis yang bermigrasi dari wilayah asalnya di sekitar Cina, India dan Arab. Pada masa sebelum era kolonialisme, Asia Tenggara merupakan wilayah yang menjadi arena perebutan kekuasaan antara Cina dan India. Dalam perebutan kekuasaan tersebut, banyak terjadi penaklukan terhadap suku, kelompok etnis hingga kerajaan yang menyebabkan terus terjadinya pergeseran penyebaran ras dan etnis.
            Memasuki tahun 1500-an, bangsa Eropa mulai berdatangan ke Asia Tenggara dalam rangka pencarian sumber daya alam dan rempah- rempah. Niat awal untuk berdagang rempah- rempah justru kemudian berkembang menjadi monopoli dan penjajahan. Sehingga kemudian lagi- lagi Asia Tenggara mengalami interaksi secara intens dengan bangsa lain. Pada periode ini, kelompok etnis yang berdiam di wilayah Asia Tenggara sudah mulai menetapkan dan membagi wilayahnya dalam bentuk suatu wilayah kekuasaan kerajaan. Selama kurun waktu 4 abad, wilayah Asia Tenggara menjadi panggung kolonialisme bangsa Barat. Ketidakmakmuran yang banyak melanda wilayah Asia Tenggara kemudian memunculkan pemberontakan dan gerakan nasionalisme untuk membebaskan diri dari penjajahan. Pun hari ini ketika negara- negara Asia Tenggara tersebut sudah menggengggam kemerdekaan, usaha mereka mengakhiri keterbelakangan dari bangsa Barat tetap saja mengenyam pengaruh yang dibawa bangsa Barat tersebut.
Interaksi- interaksi dengan bangsa asing atau dunia internasional itulah yang kemudian melahirkan asimilasi dan akulturasi yang lantas menjadikan wilayah Asia Tenggara sebagai wilayah yang multietnis dan multiagama. Saat ini terdapat setidaknya empat agama yang berbeda di Asia Tenggara, yaitu Islam, Hindhu, Budha dan Kristen. Berdasarkan sejarahnya, Asia Tenggara tidak mengalami konsolidasi politik seperti yang terjadi pada India dan Cina. Tetapi kemudian lima kekuatan non-Asia melalui sistem kolonialisme memaksa bangsa- bangsa di Asia Tenggara untuk berkembang secara terpisah dan mulai berdiri masing- masing. Kelima negara non- Asia tersebut yaitu Inggris yang berada di Myanmar, Malaysia dan Singapura; Belanda di Indonesia; Perancis di Laos, Kamboja dan Vietnam; Amerika Serikat di Filipina; dan Portugis di timor Timur. Hanya Thailand yang tetap memiliki kebebasan dari kolonialisme barat akibat lokasinya yang menjadi batas kekuasaan Belanda dan Perancis. Perbedaan orientasi dari masing- masing kolonial inilah yang kemudian menjadikan sistem pada bidang administrasi, edukasi, perdagangan, mata uang, pelayaran dan politik pada tiap- tiap negara di Asia Tenggara pun tidak sama[3]. Perbedaan ini muncul sebagai dampak pembentukan negara yang banyak mendapatkan pengaruh dari tatanan kolonial yang pada saat itu berkuasa. Pun hal ini masih banyak diwarnai oleh dimensi sejarah etnis yang melatar belakangi masyarakat di Asia Tenggara.
Salah satu wacana menarik tentang bagaimana nasionalisme anti-kolonial berkembang dan berinteraksi dengan kemultietnisan di Asia Tenggara dapat ditemukan di Myanmar. Sebagai negara bekas jajahan Inggris, Myanmar memiliki banyak perbedaan dengan negara bekas jajahan Inggris lainnya akibat perlakuan yang berbeda pada masa reformasi politik Myanmar di awal kekuasaan Inggris. Dominasi sentiment etnis menjadi salah satu wacana utama yang banyak mengubah maneuver perkembangan nasionalisme Myanmar ke arah yang justru lebih tertutup. Hal ini berkebalikan dengan perkembangan negara – negara bekas jajahan Inggris lainnya yang cenderung mengarah pada keterbukaan seperti Malaysia, Singapura dan Brunei.

B. Pergerakan Nasionalisme di Myanmar
Myanmar merupakan negara di Asia Tenggara yang dulunya dikenal dengan sebutan Burma. Pergantian nama ini dilakukan oleh Junta militer yang berkausa di Myanmar agar warga negara Myanmar yang bukan dari etnis Burma tetap merasa sebagai warga negara di di wilayah yang berbatasan langsung dengan India, Cina dan Thailand ini. Namun meskipun pergantian nama ini telah berganti, konflik terkait sentiment etnis di Myanmar masih saja kerap terjadi.
Seperti halnya dengan negara lain, Myanmar juga memiliki latar belakang historis yang menjadi cikal bakal pembentukan identitas negara Myanmar itu sendiri. Myanmar seperti telah dikatakan di atas merupakan salah satu negara bekas jajahan Inggris di mana Inggris merupakan salah satu negara yang mengawali hadirnya demokrasi. Bertolak belakang dengan prinsip adaptasi terhadap sistem dari negara kolonial, rupanya substansi demokrasi tidak bertumbuh dengan semestinya di negara bekas jajahan Inggris satu ini. Abad ke-18 hingga 19 yang dianggap sebagai masa kebangkitan demokrasi berawal dari kerajaan Inggris dengan pergerakan sosialnya dan berlangsung cepat. Semestinya kolonialisasi yang dilakukan Inggris secara tidak langsung memberikan dampak bagi wilayah jajahannya dalam hal transformasi nilai-nilai demokrasi, yang dapat disebar di seluruh dunia termasuk kepada Myanmar sebagai salah satu jajahan Kerajaan Inggris dahulu. Myanmar faktanya tidak mengadopsi nilai demokrasi yang dibawa Inggris, hal ini terbukti dengan rezim otoriter yang masih berkuasa di Myanmar yang membatasi peran aktor politik lain.
Pertanyaannya, bagaimana bisa hal ini terjadi?
Pada awal penguasaan Inggris terhadap Myanmar, sistem pemerintahan lama Myanmar dihancurkan oleh Inggris dan diganti dengan sistem yang baru. Sistem pemerintahan yang dulunya berada di bawah dinasti raja dan dominasi agama Buddha diganti dengan sistem barat melalui penghapusan fungsi dan kuasa raja, memperkenalkan undang- undang barat, menghapus sistem pemerintahan tradisional dan mengganti dominasi agama Buddha dengan agama Kristen. Sistem sosial baru yang dibawa oleh Inggris sama sekali tidak mengindahkan tatanan local yang sejak ratusan tahun sudah mengakar dan menjadi identitas Burma. Amputasi terhadap dua jantung Burma yaitu raja dan hierarki agama Buddha menjadikan kehancuran tata tradisi masyarkat Burma benar- benar terasa.
 Selain itu, terjadi alienasi terhadap orang- orang Burma akibat ketidakpercayaan orang- orang Inggris dan kebijakannya yang tidak cukup melibatkan orang- orang Burma pada jajaran administrasi dan birokrasi negara. Inggris justru lebih memilih orang- orang India dan suku minoritas  Karen yang memeluk Kristiani untuk berada pada tampul pemerintahan di Myanmar[4]. Pada tahap ini, gesekan horizontal terhadap suku dan agama sangat rawan terjadi terutama di wilayah Myanmar yang memiliki tingkat heterogenitas tertinggi di kawasan mainland Asia Tenggara. Migrasi suku Karen ini terbukti kemudian memicu keributan anti orang Karen oleh orang Burma pada tahun 1930[5] .
Selama periode penjajahan Inggris, kontrol politik terhadap Myanmar banyak dilakukan melalui India. Myanmar diperintah sebagai provinsi India sampai tahun 1937. Setelah tahun 1937, Myanmar menjadi koloni yang diperintah secara terpisah dari India. Budaya Anglo- Burma yang berkembang pada birokrasi dan pemerintahan Burma menjadikan budaya asli Burma sangat tersingkir. Inilah yang kemudian menjadikan nasionalisme orang Burma bertumbuh dan berkembang atas dasar keinginan untuk mengembalikan identitas tradisional masyarakat Burma yang total berkebalikan dari budaya Barat.
Pergerakan nasionalisme Myanmar diawali dengan terbentuknya Young Men’s Buddhist Association (YMBA) atau Persatuan Pemuda Buddha pada tahun 1906. YMBA  kemudian mendirikan sekolah sesuai dengan kurikulum pemerintah, tetapi juga menyisipkan mata pelajaran agama Buddha sebagai kebalikan dari sekolah Kristiani yang memasukkan ajaran bible dalam kurikulumnya. YMBA dengan cepat menjadi pusat kehidupan sosial dan perhatian nasional masyarakat Burma. Banyak partai politik yang lantas didirikan dan dipimpin oleh para kader YMBA[6].
YMBA kemudian bertransformasi menjadi The General Council of Burmese Association (GCBA) pada tahun 1919 yang merupakan gerakan perlawanan terhadap Inggris. GCBA menuntut dihapusnya diskriminasi dan diadakannya reformasi sebagaimana yang terjadi di India. Pada era perang dunia kedua, Myanmar diduduki Jepang. Era pendudukan Jepang kemudian dimanfaatkan rakyat Myanmar untuk mengorganisir gerakan kemerdekaan mereka. Masyarakat Myanmar mendirikan Liga Rakyat Merdeka Anti-Fasis (AFPFL) di bawah pimpinan Aung San yang lantas berkembang sangat pesat. Kemenangan dahsyat masyarakat Myanmar ditandai dengan mampu dipukul mundurnya pasukan Jepan oleh pasukan Myanmar pada 15 Juni 1945. Kemenangan Myanmar dari Jepang tidak lantas membuat Myanmar menjadi negara merdeka sebab Inggris segera mengambil alih. Pemerintah Inggris kemudian melihat bahwa AFPFL telah berpengaruh besar di tengah rakyat, sehingga akhirnya Inggris sepakat untuk menyerahkan kemerdekaan kepada Myanmar.
Perkembangan nasionalisme Myanmar selanjutnya banyak dipengaruhi oleh kejadian- kejadian internasional yang sifatnya eksternal seperti kemenangan Jepang dalam perang Jepang-Rusia 1905yang diasumsikan oleh Myanmar sebagai sebuah kebangkitan negara Asia secara kolektif untuk membendung pengaruh negara barat. Selain itu, nasionalisme di India mempengaruhi timbulnya nasionalisme di Myanmar sebagai refleksi efek domino yang dilakukan oleh militer Myanmar mengingat kedekatan geografis.  Adanya perdamaian Versailles yang memperjuangkan hak-hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa yang belum merdeka juga turut membuka kesempatan bagi Myanmar untuk memperjuangkan haknya dalam melepaskan diri dari kolonialisme Inggris.[7]
Secara resmi, Inggris memberikan kemerdekaan bagi Myanmar pada tanggal 4 Januari 1948. Pada saat proses reformasi pemerintahan, Aung San sebagai tokoh nasionalis yang banyak berperan dalam perjuangan kemerdekaan Myanmar dibunuh oleh U Saw yang menginginkan revolusi total dan menyeluruh terjadi secara cepat di Myanmar. U Saw kemudian dijatuhi hukuman mati dan sebagai pengganti Aung San, maka diangkatlah U Nu sebagai pemimpin pertama Burma. Pada tahun 1962 Jenderal Ne Win melakukan kudeta dan menjalankan nasionalisme yang disebut netralitas ketat. Kebijakan tersebut pada dasarnya adalah diktator militer, dan Myanmar kemudian menjadi negeri yang tertutup. Tahun 1988 Ne Win jatuh karena didemo oleh para mahasiswa, sehingga berlangsung pemerintahan sipil di bawah PM Maung Maung. Namun karena pemerintahan sipil tersebut tidak mampu mengatasi pemberontakan suku-suku seperti Karen, Mon, Chin, Kachin, Rohingya, akhirnya militer kembali merebut kekuasaan. Sampai akhir tahun 2008 Myanmar di bawah Jenderal Than Swe.
 Selama masa penjajahan Inggris tidak terjadi pembentukan identitas tunggal pada penduduk Myanmar. Kelompok etnis, ras dan agama yang begitu beragam di Myanmar telah lama menyimpan potensi konflik yang mana justru pada masa kolonial Inggris semakin disulut. Trauma terhadap kolonialisasi pun membuat sistem pemerintahan di Myanmar kemudian cenderung tertutup dan otoriter yang mana justru menjebak negara ini dalam kestagnanan dan konflik ras yang tidak berkesudahan. Hal tersebut ditunjang oleh wilayah Myanmar yang dibagi menjadi dua bagian yaitu kawasan dataran rendah dan dataran tinggi. Terhadap masing-masing kawasan diterapkan sistem pemerintahan yang berbeda sehingga distribusi kekuasaan pun tidak terjadi secara merata.

C. Globalisasi dalam Nasionalisme Myanmar
Dalam konteks globalisasi yang saat ini semakin kerap terjadi, interaksi antar negara semakin tidak terhindarkan sehingga keterbukaan menjadi suatu tuntutan dan keharusan yang mesti ada. Gelombang globalisasi membawa nilai- nilai demokrasi bagi setiap negara di dunia yang menganut prinsip dependensi. Gelombang ini tidak terkecuali menyentuh bagian terkeras dalam sisi kehidupan negara Myanmar.
Saat ini secara gamblang dapat terlihat bahwa Myanmar sedang mendapatkan tekanan internasional untuk mulai membuka negaranya terhadap interaksi internasional. Salah satu langkah terawal yang telah dilakukan Myanmar adalah dengan keikutsertaannya dalam ASEAN, namun hanya langkah ini saja masih jauh dari cukup. Ketertutupan Myanmar dan keotoriteran Junta militer telah memiskinkan Myanmar selama lebih dari enam decade sejak kemerdekannya. Amerika Serikat melalui sanksi embargo dan visa pada tahun 2003 telah berhasil menekan Myanmar untuk mengubah haluan politiknya ke arah yang lebih demokratis. Pembebasan Aung San Suu-Kyi – tokoh demokrasi Myanmar menjadi bukti bahwa gelombang globalisasi tidak luput dari Myanmar[8]
Saat ini ribuan warga negara Myanmar bersama pemerintah Myanmar sedang bertransformasi menuju demokrasi dan seluruh dunia mengawasi. Sehingga gesekan horizontal antar etnis maupun agama bisa menjadi isu demokrasi yang bisa membuat dunia internasional bereaksi keras kembali terhadap rezim pemerintahan di Myanmar. Nasionalisme yang saat ini berkembang di Myanmar mungkin saja sudah mulai bertransformasi menjadi nasionalisme yang modern di mana ia mengarah pada penyediaan kerangka pikir rasional bagi permasalahan yang terjadi dan menentukan arah bagi masa depan Myanmar ke depannya.

REFERENSI
Plamenantz. 1996. Nationalism: The Nature and Evolution of an idea. Dalam Rusli Karim. M. Arti dan Keberadaan Nasionalisme Dalam Analisis CSIS Tahun XXV edisi Maret-April  ( Jakarta : CSIS).
Sardesai. Southeast Asia: Past & Present. 1997.Chiang Mai: Silkworm Books.




[2] Plamenantz, Nationalism: The Nature and Evolution of an idea. Dalam Rusli Karim. M. Arti dan Keberadaan Nasionalisme Dalam Analisis CSIS Tahun XXV edisi Maret-April  ( Jakarta : CSIS. 1996). Hal. 97 6
[3] Sardesai. Southeast Asia: Past & Present. Chiang Mai: Silkworm Books. 1997. Pg 5.
[4] Ibid., pg 177.
[6] Loc cit., 177.